Malam itu aku terduduk santai
sambil mendengarkan keluh kesah seorang sahabat tentang kisah percintaannya.
Dia menceritakan hal-hal yang membuatnya berpikir akan keseriusan dari
pasangannya, aku hanya diam menyimak dan sesekali berpendapat atau menenangkan
jika diminta.
Kemudian si sahabat bertanya
padaku, suatu pertanyaan yang membuatku berpikir dulu sebelum menjawab.
Sahabat : Jadi sebenarnya apa
ciri-ciri seorang laki-laki serius mencintai?
Aku : Hmm.. menurutku ada dua
hal, yang cukup bisa jadi bukti.
Sahabat : yaitu?
Aku : Pertama, sesibuk apapun
seorang pria, ia akan tetap menyempatkan untuk menghubungi orang yang
dicintainya. Sibuk bukan alasan untuk lupa atau tidak peduli.
Sahabatku terdiam. Mungkin ia sedang mengingat betapa pasangannya itu sering menghilang tak ada kabar karena kesibukannya.
Aku : Kedua, dia akan melakukan apa yang ia bisa untuk mempertahankan orang yang dicintainya. Atau dalam bentuk lain, salah satu prioritasnya adalah berusaha untuk membuat orang yang dicintainya... bahagia.
Kembali hening, kali ini aku ikut
merenung, terhenyak dengan kata-kata yang merupakan opini pribadiku sendiri.
Mungkin malam itu memang
suasananya melankolis. Tiba-tiba saja air menitik di mataku. Menyadari bahwa
pria yang sudah memenuhi kedua opiniku tadi padaku tak lain dan tak bukan ialah
Bapak.
Aku teringat pada Bapak, yang selalu menelepon atau sekedar mengirim pesan singkat lewat ponsel untuk menanyakan kabarku. Sampai aku tak lagi menganggap itu hal yang penting karena menurutku itu hanya suatu hal rutin yang biasa.
Bapak, selalu menanyakan kabarku,
menanyakan apakah aku sudah sampai tujuan atau belum ketika aku sedang
bepergian jauh, bertanya apakah uang jajan yang ia beri kepadaku cukup atau
tidak, bertanya kapan aku akan pulang kalau aku pergi menginap, bertanya mau
menitip oleh-oleh apa saat ia tugas dinas.
Mungkin itu memang hal rutin yang
biasa, sampai aku tak menganggap itu hal yang penting. Namun, bagaimana
kalau suatu hari nanti, Allah
menakdirkan beliau tak bisa lagi menanyakan kabarku?
Membayangkannya saja aku tak sanggup.
Bapak juga selalu memastikan aku
bahagia. Aku ingat, Bapak selalu memberi uang jajan lebih diam-diam di balik
Ibu kalau aku ingin jalan-jalan. Bapak memastikan aku mendapatkan fasilitas
terbaik untuk menunjang kehidupanku. Membelikanku komputer, ponsel, dan semua
yang aku butuhkan sesuai perkembangan jaman yang tak ada hentinya. Padahal
untuk kebutuhannya sendiri, ia hanya menempatkan di tempat terakhir.
Aku ingat suatu waktu dulu, aku
pernah mengalami suatu peristiwa yang membuatku sedih dan terpukul. Aku tak
memberitahu orangtuaku karena menurutku aku sudah dewasa, dan ini adalah
masalahku sendiri. Tapi, Bapak seakan tahu dan bisa mengerti aku, ia datang
menyuruhku mengambil kue oleh-oleh yang ia bawakan sepulang kerja dan bertanya,
“Adek, lagi sedih ya?”
Bapak, kemarin aku lihat,
rambutmu sekarang sudah memutih. Dirimu sudah semakin tua. Kau pernah bilang
pada keluarga, karena usiamu saat ini mungkin kariermu sekarang sudah tak akan
berkembang lagi, bahwa penghasilanmu mungkin tak akan naik lagi, dan kau
meminta maaf jika itu mengecewakan kami.
Tapi Bapak, sedikitpun tak pernah
kurisaukan tentang apa posisimu di kantor, atau berapa gajimu. Engkau tetap
pahlawan untuk keluarga, untukku. Fakta bahwa aku sudah sebesar ini dan masih
menjadi tanggunganmu, masih menghabis-habiskan uangmu, membuatku sakit.
Terima kasih Bapak untuk semuanya, Bapak yang terbaik untukku, untuk kami. Tak akan pernah terganti.
Selamat ulang tahun, Bapak!
Semoga Allah membuat hidupmu bahagia dan senantiasa diberkahi selamanya J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar