Rabu, 22 Agustus 2012

A Man Who I Love The Most


Malam itu aku terduduk santai sambil mendengarkan keluh kesah seorang sahabat tentang kisah percintaannya. Dia menceritakan hal-hal yang membuatnya berpikir akan keseriusan dari pasangannya, aku hanya diam menyimak dan sesekali berpendapat atau menenangkan jika diminta.

Kemudian si sahabat bertanya padaku, suatu pertanyaan yang membuatku berpikir dulu sebelum menjawab.

Sahabat : Jadi sebenarnya apa ciri-ciri seorang laki-laki serius mencintai?
Aku : Hmm.. menurutku ada dua hal, yang cukup bisa jadi bukti.
Sahabat : yaitu?
Aku : Pertama, sesibuk apapun seorang pria, ia akan tetap menyempatkan untuk menghubungi orang yang dicintainya. Sibuk bukan alasan untuk lupa atau tidak peduli.

Sahabatku terdiam. Mungkin ia sedang mengingat betapa pasangannya itu sering menghilang tak ada kabar karena kesibukannya.

Aku : Kedua, dia akan melakukan apa yang ia bisa untuk mempertahankan orang yang dicintainya. Atau dalam bentuk lain, salah satu prioritasnya adalah berusaha untuk membuat orang yang dicintainya... bahagia.

Kembali hening, kali ini aku ikut merenung, terhenyak dengan kata-kata yang merupakan opini pribadiku sendiri.

Mungkin malam itu memang suasananya melankolis. Tiba-tiba saja air menitik di mataku. Menyadari bahwa pria yang sudah memenuhi kedua opiniku tadi padaku tak lain dan tak bukan ialah Bapak.

Aku teringat pada Bapak, yang selalu menelepon atau sekedar mengirim pesan singkat lewat ponsel untuk menanyakan kabarku. Sampai aku tak lagi menganggap itu hal yang penting karena menurutku itu hanya suatu hal rutin yang biasa.

Bapak, selalu menanyakan kabarku, menanyakan apakah aku sudah sampai tujuan atau belum ketika aku sedang bepergian jauh, bertanya apakah uang jajan yang ia beri kepadaku cukup atau tidak, bertanya kapan aku akan pulang kalau aku pergi menginap, bertanya mau menitip oleh-oleh apa saat ia tugas dinas.

Mungkin itu memang hal rutin yang biasa, sampai aku tak menganggap itu hal yang penting. Namun, bagaimana kalau  suatu hari nanti, Allah menakdirkan beliau tak bisa lagi menanyakan kabarku?

Membayangkannya saja aku tak sanggup.

Bapak juga selalu memastikan aku bahagia. Aku ingat, Bapak selalu memberi uang jajan lebih diam-diam di balik Ibu kalau aku ingin jalan-jalan. Bapak memastikan aku mendapatkan fasilitas terbaik untuk menunjang kehidupanku. Membelikanku komputer, ponsel, dan semua yang aku butuhkan sesuai perkembangan jaman yang tak ada hentinya. Padahal untuk kebutuhannya sendiri, ia hanya menempatkan di tempat terakhir.

Aku ingat suatu waktu dulu, aku pernah mengalami suatu peristiwa yang membuatku sedih dan terpukul. Aku tak memberitahu orangtuaku karena menurutku aku sudah dewasa, dan ini adalah masalahku sendiri. Tapi, Bapak seakan tahu dan bisa mengerti aku, ia datang menyuruhku mengambil kue oleh-oleh yang ia bawakan sepulang kerja dan bertanya, “Adek, lagi sedih ya?”

Bapak, kemarin aku lihat, rambutmu sekarang sudah memutih. Dirimu sudah semakin tua. Kau pernah bilang pada keluarga, karena usiamu saat ini mungkin kariermu sekarang sudah tak akan berkembang lagi, bahwa penghasilanmu mungkin tak akan naik lagi, dan kau meminta maaf jika itu mengecewakan kami.

Tapi Bapak, sedikitpun tak pernah kurisaukan tentang apa posisimu di kantor, atau berapa gajimu. Engkau tetap pahlawan untuk keluarga, untukku. Fakta bahwa aku sudah sebesar ini dan masih menjadi tanggunganmu, masih menghabis-habiskan uangmu, membuatku sakit.

Terima kasih Bapak untuk semuanya, Bapak yang terbaik untukku, untuk kami. Tak akan pernah terganti.

Selamat ulang tahun, Bapak! Semoga Allah membuat hidupmu bahagia dan senantiasa diberkahi selamanya J

Tidak ada komentar: